Di Jepang, Toko Kelontong Modern 'Krisis' Tenaga Kerja
- Krisis
tenaga kerja mengusik bisnis toko ritel modern di Jepang. Padahal, waralaba
seperti 7-Eleven, Family Mart, dan Lawson, yang beroperasi selama 24 jam
berkembang pesat di Negeri Sakura.
Mitoshi Matsumoto, salah satu anggota asosiasi toko serba ada di Jepang mengungkap
keterbatasan tenaga kerja memaksa pemilik mengoperasikan sendiri toko mereka.
Meski demikian, mereka pun mengaku kewalahan.
Karenanya, banyak pemegang merek waralaba membujuk pemilik merek mengizinkan
agar toko ditutup lebih awal. "Pada saat perjanjian (dengan pemilik
merek), kami tak melihat akan terjadi kekurangan tenaga kerja atau lonjakan
upah minimum," ujarnya seperti dilansir Reuters, Kamis (21/3).
Toko kelontong waralaba mulai berkembang di Jepang sejak 1970-an. Aksesibilitas 24 jam yang ditawarkan terbukti cocok dengan budaya masyarakat setempat yang kerap bekerja hingga larut malam.
Toko kelontong waralaba mulai berkembang di Jepang sejak 1970-an. Aksesibilitas 24 jam yang ditawarkan terbukti cocok dengan budaya masyarakat setempat yang kerap bekerja hingga larut malam.
Toko-toko ini terang benderang dan tersebar di banyak
sudut di Jepang. Toko waralaba bahkan telah menjadi bagian penting dari
kehidupan modern masyarakat Jepang.
Tak heran, jumlahnya mencapai 58 ribu toko pada tahun lalu, yang sebagian besar dioperasikan dengan merek 7-Eleven, Family Mart, dan Lawson.
Selama bertahun-tahun, model bisnis waralaba ini telah menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Kini, satu per satu toko mulai dijaga sendiri oleh para pemiliknya karena kekurangan tenaga kerja, seperti yang dilakukan Matsumoto.
Tak heran, jumlahnya mencapai 58 ribu toko pada tahun lalu, yang sebagian besar dioperasikan dengan merek 7-Eleven, Family Mart, dan Lawson.
Selama bertahun-tahun, model bisnis waralaba ini telah menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Kini, satu per satu toko mulai dijaga sendiri oleh para pemiliknya karena kekurangan tenaga kerja, seperti yang dilakukan Matsumoto.
Ironisnya, Matsumoto, yang kewalahan bekerja dan baru saja ditinggal mati sang
istri, memaksa menutup tokonya selama beberapa jam di malam hari demi
beristirahat. Itu pun, Matsumoto terancam denda dari pemegang mereknya.
Karena kejadian yang menimpanya itu lah muncul simpati
luas di masyarakat yang menuntut keseimbangan antara hidup dan bekerja. Bahkan,
surat kabar Nikkei yang dianggap pro-bisnis menulis sebuah editorial yang
mengajarkan pengusaha untuk memberlakukan jam kerja yang wajar.
Beruntung, tuntutan masyarakat berbuah manis. Pengusaha pun mulai melakukan uji coba kerja dengan jam lebih pendek untuk 20.700 toko. Namun demikian, pengusaha tetap menyatakan kebijakan jam kerja lebih pendek sebagai eksperimen semata dan belum akan mengubah format toko waralaba 24 jam.
Beruntung, tuntutan masyarakat berbuah manis. Pengusaha pun mulai melakukan uji coba kerja dengan jam lebih pendek untuk 20.700 toko. Namun demikian, pengusaha tetap menyatakan kebijakan jam kerja lebih pendek sebagai eksperimen semata dan belum akan mengubah format toko waralaba 24 jam.
Roy Larke, analis industri ritel di Jepang menuturkan bahwa sektor ritel modern
tengah jenuh. "Kami (Jepang) memiliki terlalu banyak toko serba ada.
Kadang-kadang secara harafiah mereka bersebelahan. Terlalu banyak," imbuh
dia.
Katsuhiko Shimizu, juru bicara Seven & i Holding yang memiliki 7-Eleven dan rantai pasokan merchandise Ito-Yokado, menyatakan ketidaksetujuannya. Menurut dia, masih ada ruang inovasi. Misalnya, dengan menyertakan teknologi otomatisasi dan kecerdasan buatan untuk proses stocking hingga check out.
Katsuhiko Shimizu, juru bicara Seven & i Holding yang memiliki 7-Eleven dan rantai pasokan merchandise Ito-Yokado, menyatakan ketidaksetujuannya. Menurut dia, masih ada ruang inovasi. Misalnya, dengan menyertakan teknologi otomatisasi dan kecerdasan buatan untuk proses stocking hingga check out.